When in Rome, Do As The Romans Do
Kita sebagai
mahluk sosial nyatanya wajar kita ingin mengunjungi tempat yang belum pernah
sambangi, apalagi kalau kita punya mobilitas yang tinggi. Entah itu urusan
kerja atau sekedar liburan, nyatanya mengunjungi tempat yang belum pernah
selalu menyenangkan dan punya kenangan tersendiri nantinya.
Tapi, saat
kita mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah pasti ada suatu larangan,
kebiasaan bahkan aturan ditempat itu. Maka, kita selaku pendatang/strangers
harus bisa menyesuaikan dengan lingkungan sekitar. Itulah kenapa judul kali ini
saya namai demikian, itu merupakan pepatah kuno yang diucapkan oleh Santo
Agustinus yakni seorang Uskup, Pujangga Gereja dan juga seorang Filsuf.
Pepatah itu
memiliki definisi kurang lebih seperti ini, saat kita berada dilingkungan yang
belum pernah kita injak sebelumnya dan berada di lingkungan masyarakat baru
kita harus bisa menyesuaikan, baik secara sosial, budaya dan aspek lain. Ada
juga pepatah yang hampir mirip yakni “ Dimana Bumi Dipijak Disitu Langit
Dijunjung” yang berarti dimanapun kita berada akan selalu ada hukum atau
peraturan yang berlaku. Poin dari kedua pepatah ini semuanya sama yakni soal
kita menghargai lingkungan baru yang kita tempati.
Selayaknya
manusia kita memang harus patuh akan aturan dan hukum yang berlaku, mau itu
aturan tertulis maupun tidak, baik sedang ada orang maupun tidak, kita harus
tetap mematuhinya. Karena dengan adanya aturan maka kesejahteraan dan keamanan
akan terwujud.
Namun saya
sempat berpikir, bagaimana bila ada disuatu daerah atau kawasan yang tidak ada
hukum dan aturannya?bagaimana keadaan daerah itu?apakah tentram atau malah
chaos?
Mungkin
secara gambaran fiktif ada, yakni Utopia dan Distopia
Utopia itu
sendiri adalah suatu kelompok masyarakat atau keadaan yang harmonis dan
sempurna serta tidak ada kesenjangan. Utopia boleh dibilang sebagai suatu
bentuk bayangan akan kehidupan yang tanpa konflik, kesetaraan antar warga,
pemerintahan yang jujur dan adil,kesehatan yang baik, tidak ada kesengsaraan
dan kelaparan, serta tidak ada tindak criminal sedikitpun, mungkin contoh
gambaran keadaan ini adalah Surga.
Sebaliknya
Distopia adalah suatu keadaan atau kelompok masyarakat yang memiliki kualtitas
hidup yang sangat buruk. Contoh dari keadaan ini adalah Novel Fiksi berjudul
The Hunger Games yang juga telah diangkat jadi sebuah judul film.
Istilah
Dystopia sendiri pertama kali digunakan oleh John Stuart Mill, seorang
politikus Inggris pada pidato perlementernya tahun 1896. Istilah ini digunakan
sebagai antonym dari kata Utopia yang diciptakan oleh Sir Thomas More di dalam
novel nya yang berjudul Utopia.
Kembali pada
pembahasan soal aturan dan hukum seperti penjelasan awal, kita sambungkan
dengan istilah Utopia dan Dystopia ini. Saya pernah menonton salah satu video
di YouTube Ferry Irwandi yang tentang “Kalau Hanya Ada Satu Tuhan Mengapa Ada
Banyak Agama?” di video itu dia menjelaskan soal konsep ketuhanan menurut sudut
pandang dia. Untuk lebih detailnya lagi silahkan cek langsung ke YouTube.
Namun yang
menjadi pembahasan adalah saya menemukan sebuah komentar yang sangat menarik,
komentar itu mengatakan “ Pernah nonton
stand up Pandji (Pragiwaksono), dia mencoba mengangkat tentang konsep surga.
Yang mana katanya surga adalah tempat dimana kita bebas melakukan yang kita
mau, yang bisa diartikan tidak ada aturan. Menurut pandji, semua tempat yang
tidak ada aturannya bakal chaos. Nah, konsep surga kalau dipikir hanya pakai
ilmu manusia gak akan bisa nemu yang sesuai. Itu ada dilevel pemahaman yang
berbeda. Karena ilmu kita terbatas, dan dicampuri nafsu. Makannya kalau bahas
ketuhanan gak bakal bisa kita paksakan pakai logika manusia”.
Yang
pertama, komentar itu tentang konsep surga bisa saya analogikan adalah Utopia
dimana keadaan disana sangat damai dan tentram, namun apa kata pandji juga bisa
jadi semua tempat yang tidak ada aturannya bakal chaos.
Kedua,
jawaban nya juga bisa kita dapatkan disana, ga semua hal apalagi konsep surga
bisa kita pahami dengan ilmu manusia, dan gak semua hal juga kita patut
dipertanyakan. Ada bagian IQ (Intelligent Quotient), SQ (Spiritual Quotient),
dan EQ (Emotional Quotient). Setiap aspek punya alat ukur masing-masing, kita
bisa menggunakan alat SQ untuk memahami konsep ketuhanan.
Pasti banyak
pertanyaan yang bermunculan disetiap pikiran kita masing-masing, dan kadang
pertanyaan itu susah untuk dijawab dan memerlukan jawaban dari orang yang
benar-benar paham. Mungkin dengan mempunyai kebiasaan KEPO yang tinggi bisa
bermanfaat sehingga kita banyak mencari tahu atau kita selalu skeptis akan suatu
hal sehingga banyak menanyakan beberapa hal yang tidak esensial.
Apabila kita
tidak atau belum menemukan jawaban akan hal yang kita cari tahu, terlebih lagi
itu soal agama, jawaban terbaik menurut saya adalah gak semua hal harus masuk
akal dan lebih baik kita bersyukur, seperti dalam surat Ar-rahman “ Maka nikmat
Tuhan manakah yang kamu dustakan?” diulang sebanyak 31 kali, ini dimaksudkan
agar setiap manusia selalu ingat untuk bersyukur dan tidak kufur akan nikmat
yang sudah diberikan oleh Alloh.
Jadi, kesimpulannya kita sebagai manusia harus mempunyai adab dan ahlak yang baik, karena dengan ilmu saja tidak cukup. Dan juga, ilmu akan bermanfaat apabila kita mempunyai ahlak yang baik.
Komentar
Posting Komentar